loading...
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 wacana Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya ialah alat bukti aturan yang sah.Sehingga, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU ITE di atas setiap informasi dan/atau dokumen elektronik yang diterima melalui smartphone/sms/telpon maupun alat komunikasi lainnya sanggup dijadikan alat bukti aturan yang sah.
Dalam ranah aturan pidana, alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 wacana Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yaitu terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Di samping itu, berdasarkan Jaksa pada Kejaksaan Agung RI Arief Indra Kusuma Adhi yang kami kutip dari artikel Faksimili Sebagai Alat Bukti, ada dua pilihan yang sering digunakan untuk menyikapi alat bukti elektronik yaitu, sebagai alat bukti surat, atau alat bukti petunjuk, dengan ketentuan:
1. Informasi elektronik menjadi alat bukti surat kalau informasi elektronik itu diubah dalam bentuk cetak;
2. Informasi elektronik menjadi alat bukti petunjuk apabila informasi elektronik itu punya keterkaitan dengan alat bukti lain dan tiruana kekuatan alat bukti tersebut bebas. Artinya, informasi elektronik tersebut tetap dikaitkan dengan alat bukti lain dan berdasarkan keyakinan hakim, selain kemampuan jaksa meyakinkan hakim.
Informasi elektronik berupa kata-kata tidak senonoh tersebut setidak-tidaknya sanggup dijadikan alat bukti surat (bila diubah menjadi bentuk cetak), atau sanggup juga dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. Lebih jauh terkena alat bukti dalam UU ITE sanggup juga disimak artikel UU ITE Makara Payung Hukum Print Out Sebagai Alat Bukti.
terkena bahaya pidana terkait dengan kata-kata tidak senonoh yang dikirim/terima melalui blackberry, kita bisa merujuk pada ketentuan Pasal 45 jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur sebagai diberikut:
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling usang 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat sanggup diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang mempunyai muatan yang melanggar kesusilaan.
berdasarkan pengaturan Pasal 45 jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE, orang yang mengirimkan informasi elektronik berupa kata-kata tidak senonoh yang dinilai sudah melanggar kesusilaan melalui blackberry sanggup dilaporkan ke kepolisian dengan mempersembahkan bukti pesan tidak senonoh yang diterima sebagai bukti permulaan selain nantinya didukung oleh laporan kepolisian.
Terkait dengan bukti permulaan yang cukup, simak artikel Proses Penyelidikan dan Penyidikan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Wilayah RI.
Bagaimana Menjerat Pelaku Pelecehan Seksual Secara Verbal /terucap melaluiataubersamaini Kata-Kata ?
Dalam masalah pelecehan seks secara verbal yang terjadi di kawasan umum (contoh: di jalanan umum) menyerupai dengan kata-kata porno, ekspresi-ekspresi porno terhadap seorang perempuan pengguna jalan umum tersebut, apakah mungkin dilakukan proses aturan terhadap pelaku? Undang-undang mana dan pasal mana sajakah yang bisa dimungkinkan untuk menjerat pelaku menyerupai itu?
Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, spesialuntuk mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 hingga dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan tiruananya dalam lingkungan nafsu berahi kelabuin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu sudah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, sanggup dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara aturan didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".
melaluiataubersamaini demikian, unsur penting dari pelecehan seksual yaitu adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan menyerupai siulan, kata-kata, komentar yang berdasarkan budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat yaitu wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si akseptor perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
Pendapat yang mendukung hal di atas juga diutarakan oleh Nina Tursinah, S.Sos, M.M., Ketua Bidang UKM, Wanita Pekerja, Pengusaha, Gender & Sosial DPN Apindo (sebagaimana pernah dikutip dalam artikel yang berjudul Apakah Memandang Termasuk Pelecehan Seksual?), ada empat bentuk pelecehan seksual yaitu:
a. Fisik, kontak eksklusif tubuh, mencubit, mencium, menatap dengan nafsu
b. Lisan, komentar yang tidak diinginkan wacana kehidupan pribadi
c. Isyarat, bahasa badan yang bernada seksual
d. Tulisan, Gambar, pornografi, postek seksual atau pelecehan lewat email dan model komunikasi elektronik
e. Psikologis, Emosional, undangan terus menerus dan tidak diinginkan kencan yang tidak dibutuhkan penghinaan, celaan.
Akan tetapi, pendapat tidak sama sanggup dilihat melalui klarifikasi R. Soesilo (Ibid) dalam Pasal 281 KUHP. sepertiyang kami sarikan, R. Soesilo menyampaikan bahwa kesopanan dalam pasal tersebut yaitu dalam arti kata kesusilaan, perasaan aib yang bekerjasama dengan nafsu kelabuin contohnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba kawasan kemaluan perempuan, menyampaikan anggota kemaluan perempuan atau pria, mencium, dan sebagainya.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pengrusakan kesopanan ini tiruananya dilakukan dengan perbuatan. Dapatkah hal itu dilakukan dengan perkataan? Prof. Dr. D. Simons menentang kemungkinan perkosaan terhadap kesopanan dengan perkataan. Dalam hal dengan perkataan, orang sanggup dikenakan Pasal 315 KUHP.
sepertiyang dikutip oleh R. Soesilo, Mr. W.F.L. Buschkens beropini lain, ialah bahwa merusak kehormatan (penghinaan) itu suatu pengertian umum, yang juga mencakup merusak kesopanan apabila mencakup pernyataan (baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan-perbuatan) yang terkena nafsu kelabuin, maka kesopanan itu ialah suatu pengertian yang khusus yang lebih sempit dan bahwa berdasar atas ketentuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka Pasal 281 kitab undang-undang hukum pidana lebih baik digunakan daripada Pasal 315 KUHP.
Pasal 63 KUHP
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dan satu aturan pidana, maka yang dikenakan spesialuntuk salah satu di antara aturan-aturan itu; kalau tidak sama-beda, yang dikenakan yang memuat bahaya pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka spesialuntuk yang khusus itulah yang diterapkan.
Pasal 281 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling usang dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ berperihalan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Pasal 315 KUHP
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan verbal atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan verbal atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam alasannya penghinaan enteng dengan pidana penjara paling usang empat bulan dua ahad atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Makara sebagaimana diuraikan di atas, tindakan pelecehan seks secara verbal yg terjadi di kawasan umum sanggup dipidana. Akan tetapi, masih terdapat pro dan kontra terkena pasal mana dalam kitab undang-undang hukum pidana yang sanggup digunakan. Ada yang beropini untuk memakai Pasal 281 kitab undang-undang hukum pidana dan ada juga yang beropini untuk memakai Pasal 315 kitab undang-undang hukum pidana (penghinaan enteng).
Bentuk-bentuk pelecehan seksual
Verbal: gurauan porno ('pulang jam segini, perempuan macem apa?', 'berapa mba satu jam?'), siulan badung, julukan yang merendahkan (si bohay, tante montok), dan lainnya.
Non verbal: memandangi lekat- lekat dengan penuh nafsu, bergaya seolah menjilat dan mempersembahkan ciuman dari jarak jauh, tindakan yang menyentuh korban menyerupai meraba, mencium, menggesekkan.
CARA MELAPOR PELCEHAN SEKSUAL
Cari Konselor
Ini langkah pertama yang paling penting, paling mutlak, dan enggak bisa dinegosiasikan. Korban kekerasan niscaya mengalami trauma. Percuma kasusmu dibawa ke ranah aturan dan pelakunya ditangkap kalau engkau sendiri tidak mendapat menolongan, kan?
Tentu, curhat sama teman bersahabat dan keluarga itu sangat penting dilakukan, dan mereka bisa memdiberi pinjaman sopan santun yang luar biasa. Tapi, korban kekerasan biasanya perlu ngobrol banyak sama konselor untuk memastikan mereka betul-betul membaik.
Cari Pendamping Hukum / Pengacara
Kalau engkau mau membawa kasusmu ke ranah hukum, tidakboleh lakukan sendirian. Kamu niscaya butuh pinjaman dari orang-orang terdekat menyerupai keluarga dan kawan. Tapi, lebih penting lagi, engkau butuh pendamping hukum.
Mereka enggak cuma bisa menemani engkau melalui proses aturan yang enggak gampang. Mereka juga bisa pertanda apa saja langkah-langkah yang perlu engkau tempuh, aturan apa saja yang melindungi engkau, dan bekerjasama dengan pihak berwajib.
Kamu bisa meminta pendamping aturan di Lembaga pertolongan Hukum terdekat (seperti LBH Apik) atau yang konselormu rekomendasikan. Biasanya, mereka juga mengenal pendamping aturan yang simpatik dan mau memmenolong.
Kumpulkan Bukti
Kebanyakan masalah kekerasan seksual (seperti masalah pemerkosaan) harus dibuktikan dengan yang namanya visum et repertum alias VeR. Singkatnya, VeR itu investigasi medis terhadap badan engkau untuk mencari bukti-bukti terjadinya kekerasan – contohnya ada memar, luka, dan sebagainya.
VeR harus dilakukan di rumah sakit dan dilakukan oleh dokter. Tapi, ini kuncinya: VeR harus dilakukan segera atau tak usang setelah kejadian, dan tidak bisa ditunda terlalu lama. Kalau terlalu lama, bukti fisik tersebut bisa saja hilang.
Masalahnya, banyak korban kekerasan seksual enggak mau segera melaporkan kejadian, entah alasannya mereka trauma, takut dibalas pelaku, atau merasa malu. Tapi, kalau engkau ingin segera melaporkan, tidakboleh bingung lagi: eksklusif ke RS dan minta visum.
Sementara, kalau kekerasan tak berupa fisik, menyerupai teror lewat internet atau pun penyebaran foto pribadi, engkau bisa juga mengumpulkan bukti-bukti digital.
Tuntut dengan Pasal yang Pas
Sejauh ini, Indonesia punya dua aturan besar yang melindungi korban pemerkosaan. Pasal 285 KUHP, dan Pasal 286 KUHP. Semisal engkau penamasukan apa isi pasalnya, ini isi Pasal 285:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau bahaya memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengan beliau di luar perkawinan.”
Dan ini isi Pasal 286:
“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling usang sembilan tahun.”
Dua pasal itu bisa digunakan untuk menuntut pelaku pelecehan seksual secara hukum. Kalau engkau berusia di bawah 18 tahun alias masih anak, engkau bisa menuntut pelaku dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, yang mengulas Perlindungan Anak. Atau, alternatifnya, engkau bisa melapor ke Komnas Perlindungan Anak dan meminta menolongan aturan dari mereka.
Kalau engkau di bawah usia 18 tahun dan engkau jadi korban kekerasan seksual, engkau masih bisa menuntut dengan Undang-Undang Perlindungan anak yang kami bahas di atas. Tapi, kalau engkau di atas 18 tahun, engkau gay, dan engkau jadi korban kekerasan seksual oleh laki-laki lain, misalnya, belum ada aturan yang khusus melindungi engkau.
Namun, bukan berarti tidak ada pilihan. Pelaku bisa dituntut dengan pasal lain, meski mungkin tidak spesifik ke pasal-pasal terkait kekerasan seksual. Seperti yang kami sebut di poin kedua, hal ini sebaiknya engkau obrolin dengan pendamping aturan atau konselor engkau. Belum lagi proses aturan di Indonesia masih cenderung lamban dan menyalahkan perempuan. Proses juga berlarut-larut sehingga penting sekali bagi korban untuk punya support group.
Ingat, engkau tidak sendirian. Dan tiruana ini bukan salahmu. Kamu pantas diperlakukan lebih baik, dan pantas mendapat keadilan. Good luck!
references by hukumonline, teman dekatask
0 Komentar untuk "Bagaimana Cara Melaporkan Pemerkosaan Di Media Sosial?"