Nasehat Untuk Anak Terhadap Orangtua

loading...
Seringkali Rasulullah SAW mengingatkan supaya kita berbakti kepada orang bau tanah kita. Memuliakan dan mengabdi kepada mereka. Sehingga jikalau ada anak yang durhaka kepada orang tuanya maka ia yakni orang yang bakal sengsara didunia dan di akhirat. Dan termasuk dosa yang akan dilampaukan hukumannya di dunia sebelum di alam abadi yakni dosa durhaka kepada orang tua.



Untuk memupuk benih bakti seorang anak kepada orang tuanya yakni dengan sering-sering kita menghadirkan besarnya makna usaha orang bau tanah terhadap anak-anaknya di dikala sang anak masih kecil.

Sungguh suatu dedikasi yang tiada tandingnya. Orang bau tanah rela sakit demi anak, tidak nyenyak pulas demi anak dan begitu seterusnya. Perjuangan demi usaha dia jalani, dedikasi demi dedikasi dia lalui tiruananya yakni demi anak.

Akan tetapi kadang seorang anak terbawa dalam kelalaian akan tiruana yang sudah diperjuangkan oleh orang tua. Sehingga ada seorang anak membentak orang tuanya atau bahkan dengan simpel memukul orang tuanya atau menyakiti hati orang tuanya dengan pengecap dan tingkah lakunya. Yang ingin melihat insan celaka di dunia dan di alam abadi cukuplah melihat seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya.

Durhaka kepada orang bau tanah kadang teramat halus sehingga tidak dirasakan oleh seorang anak akan tetapi ternyata seorang anak sudah berada pada hakekat kedurhakaan.

Seorang anak yang menghindar dari beban biaya rumah sakit untuk orang tuanya yang ditanggung oleh saudara-saudaranya. Disaat pembayaran biaya rumah sakit akal-akalan tidak tahu atau menjauh untuk sementara dari keluarganya dengan aneka macam alasan. Namun sebenarnya spesialuntuk ingin menghindar dari beban biaya pengobatan orang tuanya. Sungguh Allah Maha Tahu apa yang ada di hati sang anak durhaka ini. Sadarilah bahwa jikalau kita sakit seorang bau tanah akan mengorbankan tiruana yang dimilikinya demi kesehatan kita.

Adalagi seorang yang durhaka dengan memanfaatkan kebaikan orang tua. Orang tuanya memang mencintainya dan berjuang untuknya. Menyekolahkannya hingga sang anak bisa berhasil dan mendapatkan pekerjaan yang nyaman, membersihkan dengan penghasilan tinggi. Sementara orang tuanya tetap tidak berubah sebagai seorang petani yang kulitnya disamping semakin hitam terbakar matahari juga semakin berkeriput dimakan usia. Akan tetapi keberhasilan sang anak tidak merubah keadaan orang tuanya. Bahkan mungkin seorang anak dengan tanpa hati nurani sudah mengakibatkan sang ibu babu di rumahnya yang mencuci bajunya dan menyiapkan makan sang anak. Sungguh ini yakni anak durhaka yang susah bertaubat alasannya yakni ia tidak sadar jikalau yang demikian itu yakni durhaka.

Adalagi durhaka yang tidak dirasakan oleh seorang anak. Yaitu dikala orang bau tanah yang sudah keriput itu tidak lagi dianggap nyaman keberadaannya di meja makan bersama. Maka seorang bau tanah pun dibuatkan meja kecil di ruang yang agak terpisah supaya tidak menggangu. Dan spesialuntuk orang durhaka-lah yang menganggap orang tuanya mengganggu.

Cukuplah orang bau tanah kita capek di dikala kita masih kecil giliran kita sudah cukup umur dan orang bau tanah kita semakin lemah mari kita muliakan dan kita layani orang bau tanah kita. Mengabdi berangkat dari hati yang lapang dada lantaran Allah SWT bukan spesialuntuk takut dihujat oleh masyarakatnya. Sebab ada orang mengabdi dan berlemah lembut kepada orang tuanya di depan mitra dan tetangganya akan tetapi di dikala tidak ada yang melihatnya maka dedikasi dan lemah lembut itupun hilang.


Pernahkah engkau memperhatikan seorang anak kecil yang tengah bersama orang tuanya? Atau, ingatlah masa kecilmu doloe hingga masa sekarang.

Ingatlah betapa besar kasih akung kedua orang tuamu kepadamu. Ingatlah betapa besar perhatian mereka akan daerah tinggalmu, makan dan minummu, pendidikanmu, serta penjagaan mereka pada waktu malam dan siang. Ingatlah betapa besar kekhawatiran mereka ketika engkau sakit hingga pekerjaan yang lain pun mereka tinggalkan demi merawatmu. Uang yang mereka cari dengan susah payah rela mereka keluarkan tanpa pikir panjang demi kesembuhanmu. Ingatlah kerja keras siang malam yang mereka lakukan demi menafkahimu. Niscaya engkau akan mengetahui kadar penderitaan kedua orang tuamu pada waktu mereka membimbing dirimu hingga beranjak dewasa.

Sering kali, ketika rasa kecewa sudah memenuhi hati kita, kekecewaan yang muncul akhir orang bau tanah yang tidak tahu dan tidak paham akan kebenaran Islam yang sudah kita ketahui, bahkan ketika mereka justru menjadi penghalang bagi kita dalam tafaquh fiddin, kita jadi seolah-olah mempunyai alasan untuk tidak mempergauli mereka dengan baik.

ingatlah bahwa sejelek apapun orang bau tanah kita, kita tetap tidak akan bisa membalas tiruana jasa-jasanya. Ingatlah, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pun tetap memerintahkan kita untuk mempergauli mereka dengan baik, meskipun mereka sudah menyuruh kita berbuat kesyirikan. Ya, yang perlu kita lakukan spesialuntuklah tidak mentaati mereka ketika mereka menyuruh kita untuk bermaksiat kepada Allah dan tetap berlaku baik pada mereka. Lebih dari itu, tidakkah kita ingin supaya bisa mereguk kebenaran dan keindahan Islam bersama mereka, ? Tidakkah kita menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi mereka sebagaimana mereka yang selalu menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi kita? Tidakkah kita ingin supaya Allah mempertemukan kita di Jannah-Nya? Karena itu, bersabarlah . Bersabarlah dalam membimbing dan berdakwah pada mereka sebagaimana mereka selalu sabar dalam membimbing dan mengajari kita lampau. Jangan pernah putus asa, kerikil yang keras sekalipun bisa berlubang lantaran ditetesi air terus menerus.

Tahukah engkau , salah satu doa yang mustajab? Yaitu doa dari seorang anak yang shalih untuk orang tuanya. Sambutlah kembali hadiah nabawiyah ini, 

Dalam hadist Abu Hurairoh radhiyallahu anhu disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila insan mati, putuslah amalnya kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaa atau anak shalih yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairoh radhiyallahu anhu, sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah pasti mengangkat derajat bagi hamba-Nya yang shalih ke surga, maka ia bertanya, ‘Ya Allah, bagaimana itu bisa terjadi?’ Allah menjawaban, ‘Berkat istigfar anakmu untukmu.'” (HR. Ahmad)

Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kelak akan hadir kepada engkau sekalian seseorang berjulukan Uwais bin ‘Amir, anak muda yang belum tumbuh janggutnya, keturunan Yaman dari kabilah Qarn. Pada tubuhnya terkena penyakit kusta, namun penyakit itu sembuh daripadanya, kecuali tersisa seukuran uang dirham. Dia mempunyai ibu yang ia sangat berbakti kepadanya. Apabila ia berdoa kepada Allah pasti dikabulkan, maka jikalau engkau bertemu dengannya dan memungkinkan minta padanya memohonkan ampun untukmu maka lakukanlah.” (HR. Muslim dan Ahmad)




Dahsyatnya eksekusi Allah Akibat Durhaka Kepada Kedua Orang Tua

Dahsyatnya azab Allah SWT akhir durhaka kepada orang tua. Allah akan menunjukkan azabnya di dunia tidak menundanya hingga hari akhirat. eksekusi di duni bagi seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya berupa hidup dalam kesengsaraan, tidak bahagia, susah dikala sakaratul maut. Dan di alam abadi sungguh azab yang sangat perih.

Sabda Rasulullah SAW : ''Sesungguhnya ada orang yang berbakti kepada orang bau tanah nya ketika mereka masih hidup,tetap ia di catat sebagai anak yang durhaka kepada mereka lantaran ia tidak pernah memohonkan ampunan untuk mereka sehabis wafat,dan sesungguhnya ada orang yang durhaka kepada orang bau tanah ketika mereka masih hidup tetapi ia di catat sebagai anak yang berbakti kepada mereka sehabis mereka wafat lantaran memperbanyak istighfar (memohonkan ampunan) untuk mereka".

Abu Bakrah (pewari hadits) menceritakan, Rasulullah saw bersabda : “Maukah kalian Aku diberitahukan wacana dosa besar yang paling besar?” (Beliau mengulanginya hingga tiga kali). maka kami berkata : “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda : “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada  kedua orang tua.” Ketika itu dia bersandar kemudian duduk  sambil berkata : “Ketahuilah begitu juga dengan ucapan dusta dan saksi dusta.” Beliau terus mengulang-ulangnya hingga kami  berkata : “semoga Beliau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seperti apa ukuran perbuatan durhaka kepada orang tua, simak hadits ini :

Salah seorang sobat bersahabat pernah bertanya kepada Rasulullah ''Apa ukuran durhaka kepada orang tua?'' Rasulullah menjawaban ''Ketika mereka menyuruh ia tidak mematuhi,ketika mereka meminta ia tidak memdiberi,jika memandang mereka ia tidak hormat kepada mereka sebagaimana hak yang sudah di wajibkan bagi mereka''

Rasulullah juga pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib ''Wahai Ali, barang siapa yang sudah membuat sedih kedua orang tuanya maka ia sudah durhaka kepada mereka''.

Beberapa hal yang terjadi akhir durhaka kepada kedua orang bau tanah :

1. Haram masuk ke nirwana Allah.
“Ada tiga jenis orang yang diharamkan Allah masuk surga, yaitu pemabuk berat, pendurhaka terhadap kedua orang tua, dan juga seorang dayyuts atau bencong (merelakan kejahatan berlaku di dalam keluargannya, merelakan istri dan anak perempuannya serong)”. (H.R. Nasa’i dan Ahmad)

 2. Dimurkai oleh Allah SWT.
“Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan marah Allah pun tergantung pada marah kedua orang tua”. (H.R. al-Hakim).

3. Tidak diterima amal ibadah dan Shalatnya.
“Allah tidak akan mendapatkan Ibadahnya, shalatnya orang orang yang dibenci kedua orang tuanya yang tidak menganiaya kepadannya”. (H.R. Abu al-Hasan bin Makruf)

 4. Tidak dianggap masuk golongan umat Nabi Muhammad SAW
“Bukan termasuk dari golongan kami orang orang yang diperluas rezekinnya oleh Allah kemudian ia kikir dalam menafkahi keluargannya”. (H.R. ad-Dailamy)

 5. Mendapat gelar ‘kafir’. Naudzubillah
“Jangan membenci kedua orang tuamu. Barang siapa Orang yang mengabaikan kedua orang tua, maka dia kafir”. (H.R. Muslim).

 6. Allah akan mempersembahkan azab di dunia.
Al-hakim dan al-Ashbahani, dari debu bakrah r.a. dari Nabi Saw, Beliau bersabda, “setiap dosa akan diakhirkan oleh Allah SWT sekehendak-Nya hingga hari kiamat, kecuali dosa besar yang mendurhakai kedua orang tua. Sesungguhnya Allah SWT akan menyegerakan (balasan) kepada pelakunnya didalam hidupnya sebelum mati”.

 7. Dosanya tidak akan diampuni Allah SWT.
Dari Aisyah r.a. ia berkata, Rasulullah Saw. Bersabda, “dikatakan kepada orang yang durhaka kepada kedua orang tua, “berbuatlah sekehendakmu, sesungguhnya Aku tidak akan mengampuni. “Dan dikatakan kepada orang yang berbakti kepada orang tua, bahwa berbuatlah sekehendakmu, sesungguhnya Aku mengampunimu.” (H.R. Abu Nu’aim).

 8. Membatalkan tiruana amal ibadahnya.
“Ada tiga hal yang mengakibatkan terhapusnya seluruh amal, yaitu syirik kepada Allah, durhaka kepada orang bau tanah dan seorang alim yg dipermainkan oleh orang dungu & jahil”. (H.R. Thabrani).

 9. Diharamkan mencium anyir nirwana Allah SWT.
“sesungguhnya Aroma nirwana itu tercium dari jarak perjalanan seribu tahun, dan demi Allah tidak akan mendapatinya barang siapa yang durhaka kepada orang tuanya”. (H.R.Thabrani).

10. Terputus rezekinya.
“Apabila seseorang tidak meninggalkan doa bagi kedua orang tuanya, maka akan terputus rezekinya”. (H.R. ad-Dailamy).

 11. Termasuk kedalam orang menerima kerugian besar.
Sabda Rasulullah SAW “sungguh kecewa dan hina, sungguh kecewa dan hina, sungguh kecewa dan hina orang yang mendapati orang tuanya atau salah satunya hingga tua, lantas ia tidak sanggup masuk surga”. (H.R. Muslim).





Kewajiban anak kepada orang bau tanah pada masa hidupnya dan sehabis matinya


sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwa berbakti kepada orang bau tanah yakni amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah Ta'ala sehabis kita diberibadah kepada-Nya. Berbakti kepada orang bau tanah ialah alasannya yakni kita mendapat­kan keridhaan Allah Ta'ala, mendapatkan surga-Nya dan ialah sifat dan amalan mulia para Nabi. Dari sini terang bahwa orang bau tanah mempunyai hak agung yang wajib dipenuhi oleh sang anak sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah dan balas budi kepada keduanya. Berbakti kepada orang bau tanah tidak spesialuntuk sebatas pada dikala keduanya masih hidup, melainkan harus terus dilakukan sehabis keduanya meninggal.

Berbakti kepada orang bau tanah Pada masa hidupnya
Pertama: Mempergauli Keduanya dengan Baik di Dunia
Orang bau tanah yakni insan yang paling berhak mendapatkan pergaulan dengan baik. Hal itu tidak spesialuntuk terbatas kepada orang bau tanah yang baik dan taat saja, orang bau tanah yang kafirpun –wal ‘iyadzu billah– juga berhak mendapat­kan pergaulan yang baik, lantaran kekufurannya tersebut kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan ketaat­­an seorang anak kepada orang tuanya ialah kewajiban tersendiri. Allah  berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)

“Dan Kami perintahkan kepada insan (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya sudah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya selama dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, spesialuntuk kepada-Kulah daerah kembalimu dan jikalau keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak ada pengetahuan perihalnya, maka tidakbolehlah engkau mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian spesialuntuk kepada-Kulah kembalimu, maka Kudiberitakan kepadamu apa yang sudah engkau kerjakan.”   QS. Luqman [31]: 14-15

Dan dalam hadits yang shahih diriwayatkan:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ j فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ « فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ ». قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ « فَتَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا »

Dan Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyalllahu'anhu berkata: ”Telah hadir seseorang kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan mengatakan, “Aku akan membaiatmu untuk hijrah dan jihad dalam rangka mengharapkan pahala dari Allah”, maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah salah satu dari orang tuamu ada yang masih hidup?” Orang tersebut menjawaban, ”Ya masih hidup, bahkan keduanya masih hidup”. Rasulullah kemudian bertanya, “Apakah engkau menginginkan pahala dari Allah?”, maka pria tadi menjawaban, ”Ya, saya mengharap­kan pahala”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “kalau demikian maka pulanglah kepada kedua orang tuamu dan pergaulilah mereka dengan sebaik-baiknya.” (HR. Muslim: 2549)

Perhatikanlah ayat di atas, begitu tinggi kemuliaan orang tua, sampai-sampai orang bau tanah yang kafirpun tetap diperintahkan supaya mempergaulinya dengan baik dan mentaatinya selama tidak memerintahkan kemaksiatan, apabila kita diperintah untuk berbuat maksiat, maka pada dikala itu kita dilarang mentaatinya. Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan seorang pria supaya berbakti kepada orang tua, padahal ketika itu ia hendak pergi dalam rangka berjihad di jalan Allah.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jihad meskipun mempunyai kedudukan  yang tinggi dan merupa­kan dzirwatu sanamil Islam (puncaknya Islam), akan tetapi berbakti kepada orang bau tanah harus kita lampaukan apabila jihad tersebut hukumnya bukan fardhu ‘ain.

Kedua: Mendakwahi Keduanya
melaluiataubersamaini selalu mendoakan kedua­nya serta antusias dalam menasehati, mengerahkan segala daya dan upaya supaya Allah  mempersembahkan hidayah Islam kepada keduanya apabila keduanya masih kafir, dan mempersembahkan hidayah kepada manhaj yang benar.

INI jalan yang sudah ditempuh oleh para Nabi dan generasi pertama umat ini, mereka bersemangat dan sangat berharap supaya orang bau tanah mereka mendapatkan hidayah dan mencicipi manisnya kepercayaan sebagaimana yang sudah mereka rasakan. Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencapai impian dan tujuan yang mulia tersebut.

Begitu banyak kisah yang sanggup kita jadikan teladan di dalam duduk masalah ini. Oleh karenanya, untuk melengkapi pembahasan kita kali ini, kami suguhkan kepada para pembaca yang budiman dua teladan kisah yang gampang-gampang­an kita bisa menuai pelajaran darinya.

Kisah pertama, yakni Khalilu ar-Rahman Nabi Ibrahim 'alaihis salaam, dia sangat antusias menunjukkan ayahnya, Azar yang kafir dan berusaha mendakwahinya dengan baik, dengan berguaka ragam cara, disertai hujjah-hujjah naqli (dalil syar’i) maupun aqli (logika), dengan tarhib (peringatan) dan targhib (janji dan kabar gembira).

Allah Ta'ala sudah memdiberitakan kepada kita wacana hal tersebut, di antaranya yakni dalam firman-Nya:

 وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (41) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا (45) قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا (46) قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا (47)

“Ceritakanlah (wahai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur`an) ini. Sesungguhnya ia yakni seorang yang sangat membenarkan (perkara ghaib yang hadir dari Allah) lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan juga tidak sanggup menolong engkau sedikitpun? Wahai ayahku, sesungguhnya sudah hadir kepadaku sebagian ilmu penge­tahuan yang tidak hadir kepadamu, maka ikutil­ah aku, pasti saya akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, tidakbolehlah engkau menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya saya khawatir bahwa engkau akan ditimpa adzab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka engkau menjadi mitra bagi syaitan. Ayahnya berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, maka pasti engkau akan kurajam. Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, saya akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku dan tinggalkanlah saya dalam waktu yang lama.”    QS. Maryam [19]: 41-47

Dan jikalau sang anak sudah berusaha secara terbaik untuk mengajak orang tuanya ke jalan yang benar, akan tetapi orang tuanya tidak mengindahkan dakwahnya justru malah menentang­nya, maka sang anak tidak tergolong durhaka kepada orang tua, selama cara dan jalan yang ditempuh tersebut benar, bahkan ia tergolong anak yang cinta kepada orang tuanya, lantaran mengharapkan orang tuanya mendapatkan nikmat paling agung yaitu hidayah. Oleh lantaran itu, hendaknya sang anak tidak frustasi dan berhenti dalam mendakwahi orang tuanya.

Kisah kedua, yakni sobat bersahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dimana ibunya yang lampau masih dalam kekafiran senantiasa menyakiti serta mengganggu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dengan lisannya, walaupun demikian Abu Hurairah radhiyallahu'anhu tetap mempergaulinya dengan baik dan dia sangat semangat mendakwahinya supaya mendapat­kan hidayah.

Marilah sejenak kita menyi­mak apa yang sudah dilakukan oleh Abu Hurairah rahiyallahu'anhu, dan bagaimanakah usaha beliau. Beliau menceritakan, ”Aku lampau men­dakwahi ibuku kepada Islam lantaran waktu itu dia masih dalam keadaan musyrik. Pada suatu hari saya mendakwahinya, ternyata kudengar darinya pembicaraan yang kurang baik wacana Rasulullah, maka saya menhadiri Rasulullah dalam keadaan menangis dan saya katakan kepada Beliau, wahai Rasulullah, saya sudah mendakwahi ibuku supaya masuk Islam tapi  ia enggan, bahkan berbicara perihalmu apa yang tidak saya suka, oleh lantaran itu doakanlah supaya Allah memdiberi petunjuk kepada ibuku”. Kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah diberikanlah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah”. Sesudah mendengar doa tersebut saya pun keluar menuju rumahku dengan penuh kegembiraan, tatkala hingga rumah ternyata pintu tertutup. Tatkala saya hingga rumah dan ibuku mendengar bunyi sandalku, dia mengatakan, “berhentilah di tempatmu, wahai Abu Hurairah”. Pada dikala itu saya mendengar bunyi air, dia mandi, mengenakan pakaiannya kemudian membukakan pintu untukku seraya mengucapkan “Wahai Abu Hurairah, Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh”.

Sesudah mendengar perkataan ibunya tersebut, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata, “Maka saya segera kembali menemui Rasulullah dalam keadaan menangis lantaran kebahagiaan yang saya rasakan kemudian kukatakan kepada Rasulullah, “Kabar bangga wahai Rasulullah, Allah sudah mengabulkan doamu dan Allah sudah memdiberi petunjuk kepada ibuku”, maka Rasulullah pun memuji Allah dan menyanjungNya sera­­ya mengucapkan kebaikan.” (HR. Muslim: 2491)

Lihatlah Sahabat yang mulia ini, bagaimana usaha dia yang begitu gigih dan tak kenal lelah dalam mendakwahi ibunya. Beliau menempuh berba­gai cara untuk mencapai tujuan mulianya, dari mulai bersikap, berakhlak, dan berbicara dengan baik, melalui pendekatan yang baik, hingga pada jadinya ketika pintu dakwah seakan tertutup sehabis mendengar ucapan yang tidak baik dari ibunya wacana Nabi termulia, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, beliaupun tidak lantas berputus asa, justru dia mencari cara lain dengan menhadiri Rasulullah supaya diketukkan pintu langit, berdoa kepada Allah Ta'ala lantaran Dialah daerah kembali, daerah memohon dan penentu keputusan, ditambah lagi dengan keyakinan Abu Hurairah yang mantap bahwa doa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam apabila dia mendoakan kebaikan kepada suatu kaum atau mendoakan kejelekan, akan dikabulkan. Sehingga cara inipun ditempuh oleh Abu Hurairah radhiyallahu'alaihi wa sallam, yang pada jadinya pengharapan dia terwujud yaitu ibunya tercinta masuk ke dalam agama Islam.

INI di antara teladan prak­tik orang-orang mulia dalam me­wujud­kan birrul walidain, maka hendaknya kita bisa meneladani mereka. Allah Ta'ala berfirman:

 أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

“Mereka itulah orang-orang yang sudah didiberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.”            QS. al-An’am [6]: 90

Seorang penyair pun sudah ber­­­­senandung dalam syairnya,

فتَشَبَّهُوْا بِاْلكِرَامِ وَ إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ

 إِنَّ التَّشَبُّهَ بِاْلكِرَامِ فَلَاحُ

Menirulah orang-orang mulia walaupun engkau tidak bisa ibarat mereka,

Sesungguhnya memalsukan orang-orang mulia yakni sebuah keberuntungan.

Ketiga: Rendah hati di hadapan kedua orang tua, tidak mengangkat bunyi di hadapan keduanya walaupun sekedar ucapan uf atau ah
Allah  berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24

“Dan Tuhanmu sudah memerintah­kan supaya engkau tidak menyembah selain ­Dia dan hendaklah engkau berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya hingga berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali tidakbolehlah engkau menyampaikan kepada keduanya perkataan “ah” dan tidakbolehlah engkau membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih akung dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka sudah mendidikku sewaktu saya masih kecil.”     QS. al-Isra` [17]: 23-24

Dan inilah Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dia apabila masuk ke suatu daerah yang orang tuanya tinggal di dalamnya, maka dia mengucapkan kepada ibunya, “‘Alaikissalamu warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibuku”. Ibunya pun menjawaban: “Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh.” Abu Hurairah mengatakan: “gampang-gampangan Allah merahmatimu, sebagaimana engkau sudah mendidikku sewaktu saya masih kecil,” dan ibunya pun menjawaban, “wahai anakku gampang-gampangan Allah memdiberi tanggapan kebaikan kepadamu serta meridhaimu lantaran engkau sudah berbakti kepadaku di masa tuaku.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 14 dengan sanad yang hasan)

Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana bakti sobat bersahabat Abu Hurairah ini dan bagaimana dia mengungkapkan rasa syukurnya serta menunjukkan penghormatannya kepada ibunya? Di sisi lain, engkau juga akan mendapati betapa sang ibu mencicipi bakti anaknya sehingga dia sangat menyayangi sang anak. Allahu akbar! INI hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu tatkala sang anak dan orang bau tanah mencicipi kebaikan, maka orang bau tanah akan mendapatkan haknya, begitu pula anaknya juga akan mendapatkan haknya.

Berbakti kepada orang bau tanah sehabis meninggalnya
Ketika orang bau tanah sudah meninggal dunia, maka tidak ada yang diperlukan dari yang hidup kecuali apa-apa yang bisa mempersembahkan manfaat kepada akhirat­nya, berupa pahala dan yang sanggup menyelamatkannya dari siksa.

Di antara yang sanggup mempersembahkan manfaat kepada orang bau tanah sehabis meninggalnya yang sanggup dilakukan oleh sang anak dalam mewujudkan baktinya, adalah:

1. Amalan shalih yang dilakukan anaknya
Seorang anak hendaknya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah, lantaran setiap amal shalih yang dikerjakan sang anak pahalanya akan hingga kepada kedua orang bau tanah yang diberiman walaupun ia tidak mengatakan, “amal ini saya hadi­ahkan untuk ibu atau ayahku”, ataupun ucapan yang semisal, lantaran anak meru­pakan cuilan dari usaha orang tuanya, dan hal itu sama sekali tidak mengurangi pahala sang anak. sepertiyang yang Allah  firmankan:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan sebenarnya seorang insan tidak memperoleh selain apa yang sudah diusahakannya.”           QS. an-Najm [53]: 39

Dan anak ialah cuilan dari usaha orang tuanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:

إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ

“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan yakni dari usaha kalian, dan sesungguhnya bawah umur kalian yakni termasuk cuilan dari usaha kalian.” )HR. at-Tirmidzi: 1358, Ibnu Majah: 2290 dan Ahmad: 6/162 (lihat Shahih Ibnu Majah: 1854))

Dan apabila seorang anak menjalankan ketaatan, ibarat shalat, puasa, dan amalan ketaatan lainnya, maka tidak perlu sembari mengatakan, “aku diberikan pahala ibadah ini untuk kedua orang tuaku”, lantaran pahala ibadah tersebut akan hingga kepada orang tua, justru pengucapan tersebut tidak ada dasarnya dari Hadits Nabi shallallahu'alaihi wa sallam maupun praktik para Sahabat.

2. Doa anak yang shalih kepada kedua orang bau tanah dan memintakan ampunan atas dosa-dosanya
Allah  berfirman:

 رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihi­lah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua sudah mendidikku waktu kecil.”                 QS. al-Isra` [17]: 24

 Dan Rasulullah shallallahu'alaihi was sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

”Apabila insan meninggal dunia, maka terputus amalannya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaa atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim: 1631)

3. Termasuk berbuat baik kepada orang bau tanah sehabis meninggalnya yakni dengan cara memuliakan kawan-kawannya, sanak kerabat dan saudara-saudaranya
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ

”Kebaikan yang terbaik yakni jikalau seseorang menyambung orang yang disenangi bapaknya.” (HR. Muslim: 2552) Dalam hadits yang lain dari Abu Burdah radhiyallahu'anhu, dia mengatakan: “Aku hadir ke kota Madinah kemudian hadirlah kepadaku Abdullah Ibnu ‘Umar seraya berkata: ”Taukah engkau kenapa saya hadir kepadamu?”, maka saya menjawaban: “Aku tidak tahu.” Maka dia Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu'alahi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصِلَ أَبَاهُ فِيْ قَبْرِهِ فَلْيَصِلْ إِخْوَانَ أَبِيْهِ بَعْدَهُ

”Barangsiapa ingin menyambung orang tuanya sehabis meninggalnya, hendaklah ia menyambung kawan-kawan (saudara) orang tuanya sesudahnya dan sesungguhnya antara ayahku (Umar) dan ayahmu mempunyai tali perteman dekatan dan saling mencintai, maka saya ingin menyambung hal itu (sesudah matinya, pent).” (HR. Ibnu Hibban: 2/175, termaktub dalam Shahih al-Jami’: 5960)

Sungguh para Sahabat sangat memahami hal tersebut dan mereka sangat memperhatikannya. Sebagai penguat hadits dan teladan di atas yakni apa yang dilakukan oleh Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma juga, sebenarnya dia mempunyai sebuntut keledai yang biasa dia tunggangi dan imamah yang biasa untuk mengikat kepalanya. Tatkala dia berada di atas keledai­nya, tiba-tiba lewatlah seorang Arab badui, beliau­pun berkata kepada­nya, “bukankah anda fulan anaknya fulan?” Maka si badui pun berkata: “benar”, kemudian dia mempersembahkan keledai­nya kepada badui tersebut sambil mengatakan: “naikilah keledai ini dan pakailah imamah ini untuk mengikat kepalamu”. Mendengar hal tersebut, berkatalah sebagian sobat dekatnya, “cepatdangampang-gampangan Allah mengampuni dosamu, engkau mempersembahkan keledai yang senantiasa engkau tunggangi dan imamah yang senantiasa engkau pakai untuk mengikat kepalamu”, maka Abdullah Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma mengatakan, “aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ

”Termasuk kebaikan yang paling baik yakni seorang anak menyambung hubungan dengan keluarga orang yang dicintai orang tuanya sehabis meninggalnya”.  (HR. Muslim: 2552)

Dan lampau bapak orang badui tersebut yakni mitra baik ‘Umar.

4. Termasuk berbakti kepada orang bau tanah sehabis meninggalnya yakni dengan beramal berupa ilmu, membangun masjid, menggali sumur, memdiberi mushaf, dll dari amal jariyah yang akan hingga pahalanya kepada orang tuanya
‘Aisyah radhiyallahu'anha meriwayatkan, sebenarnya seseorang pernah berkata kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ibuku meninggal secara tiba-tiba dan tidak sempat berwasiat, dan saya menerka jikalau dia bisa berbicara maka dia akan bersedekah, apakah baginya pahala jikalau saya beramal untuknya dan apakah saya juga akan mendapatkan pahala?”, maka Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Ya”. Kemudian orang tadi mengatakan, “Aku bersaksi bahwa kebun yang berbuah ini saya sedekahkan atas namanya.” (HR. al-Bukhari: 2605 dan Muslim: 1004)

Dan dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa ada seseorang yang menyampaikan kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang tuaku meninggal dan sudah meninggalkan harta dan tidak mewasiatkan apa-apa, apabila saya beramal dengan meniatkan untuk orang tuaku, apakah hal itu akan menghapus dosanya?,” Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menjawaban, “Ya”. (HR. al-Bukhari: 2605)

Tentang hadits shahih ini, kita menetapkan apa adanya, akan tetapi walaupun sang anak tidak meniatkan pahala untuk orang tuanya pun secara pribadi pahala tersebut akan sampai, lantaran anak ialah cuilan dari usaha orang tua, sebagaimana yang sudah silam penjelasannya.

5. Menunaikan wasiatnya jikalau tidak melanggar syar’i, membayarkan pinjamannya baik harta maupun puasa nadzar
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang meninggal dan masih menanggung pinjaman puasa, maka walinya yang menunaikannya.” (HR. Bukhari, Muslim, dll)

Nasehat dan kabar bangga BAGI orang-orang yang berbakti kepada orang tua
Wahai para anak berbaktilah engkau kepada orang bau tanah kalian, sesungguhnya doa mereka sangat mustajab (terkabulkan), sebagaimana Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لَا تُرَدُّ: دَعْوَةُ اْلَوَالِدِ لِوَلَدِهِ وَ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

“Ada tiga doa yang tidak diragukan lagi akan pengabulannya, yaitu doanya orang terdhalimi, doanya orang musafir, dan doanya orang bau tanah kepada anaknya.” (HR. Ibnu Majah: 3862, dan tercantum dalam Shahih al-Jami’: 3033)

Maka kabar bangga untukmu wahai anak yang berbakti lagi berbuat baik kepada orang tuanya, apabila setiap hari engkau keluar rumah, sedangkan ayah dan ibumu mendoakan kebaikan kepadamu. Dan sebalik­nya, kabar kehinaan bagimu mabadunga engkau keluar rumah, sedangkan kedua orang bau tanah mendoakanmu dengan kejelekan dan laknat.

Kabar bangga bagi orang bau tanah yang mempunyai anak YANG shAlih
1. Amalannya akan terus bertambah dan mengalir hingga hari kiamat,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam :

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

2. Akan dinaikkan derajatnya di surga, disebabkan sang anak memintakan ampunan kepada Allah Ta'ala untuknya,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:

إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ أَنَّى هَذَا ؟ فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sungguh seseorang akan diangkat der ajat­nya di surga, dia mengatakan: dari mana ini? Kemudin dikata­kan kepada­nya, ini yakni disebabkan istighfar anakmu yang shalih.” (HR. Ibnu Majah: 3638 dll, lihat Shahih al-Jami’:1618)

3. Akan berkumpul di alam abadi bersama anak cucu yang diberiman, sebagaimana firman Allah :
 وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-oranng yang diberiman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (ditinggikan derajatnya sebagaai derajat bapak-bapak mereka dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit­pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap insan terikat dengan apa yang dikerjakan­nya.”      QS. ath-Thuur [52]:21



SIKAP SEORANG MUALAF PADA ORANGTUA YANG BELUM DIBERIKAN HIDAYAH

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (Juz. IV hal. 1877 no. 1748 (43)), Diceritakan bahwa Ummu Sa’ad (ibunya Sa’ad) bersumpah tidak akan berbicara kepada anaknya dan tidak mau makan dan minum lantaran menginginkan Sa’ad murtad dari anutan Islam.

Ummu Sa’ad mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya berkata, “Aku tahu Allah menyuruhmu berbuat baik kepada ibumu dan saya menyuruhmu untuk keluar dari anutan Islam ini”. Kemudian selama tiga hari Ummu Sa’ad tidak makan dan minum. Bahkan memerintahkan Sa’ad untuk kufur. Sebagai seorang anak Sa’ad tidak tega dan merasa iba kepada ibunya. berkaitan dengan kisah Sa’ad ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu ibarat yang terdapat pada surat Al-Ankabut ayat 8 .

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Kami berwasiat kepada insan supaya berbakti kepada orang tuanya dengan baik, dan apabila keduanya memaksa untuk menyekutukan Aku yang engkau tidak ada ilmu, maka tidakbolehlah taat kepada keduanya”

Sedangkan wahyu yang kedua dalam surat Luqman ayat 15.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan apa-apa yang tidak ada ilmu padanya, tidakboleh taati keduanya dan bergaul lah dalam kehidupan dunia dengan perbuatan yang ma’ruf (baik) dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku kemudian spesialuntuk kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-diberitakan kepadamu apa-apa yang sudah engkau kerjakan”.

Turunnya ayat ini membuat Sa’ad semakin bertambah mantap keyakinannya dan jadinya Sa’ad membuka lisan ibunya dan memaksa ibunya untuk makan. melaluiataubersamaini demikian Sa’ad tidak berbuat kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga bisa berbuat baik kepada ibunya.

Para Ulama mengambil dalil dari ayat ini wacana wajibnya berbakti dan bersilaturahmi kepada kedua orang bau tanah meskipun keduanya masih kafir. Kafir yang dimaksud pada permasalahan ini bukan kafir harbi (kafir yang menentang dan memerangi Islam).

Jika orang tuanya tidak kafir harbi, tidak menyerang kaum muslimin, maka hendaklah bergaul dengan mereka dengan baik dan bersilaturahmi kepada keduanya. Hal tersebut didasarkan kepada surat Luqman ayat 15.

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan bergaul-lah kepada keduanya dalam kehidupan dunia dengan cara yang ma’ruf”

Kemudian dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak menyerang kita.

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang engkau untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi engkau lantaran agama. Dan tidak pula mengusir engkau dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”[Al-Mumtahanah : 8]

Kisah ini terjadi pada Asma binti Abu Bakar Ash-Shidiq. Ketika ibunya yang masih dalam keadaan musyrik akan hadir untuk berkunjung kepadanya, Asma meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah engkau menyambung silaturahmi kepada ibumu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Secara fitrah, seorang anak akan menyayangi orang tuanya lantaran merekalah yang melahirkan serta mengurusnya, tapi jikalau mencintainya lantaran kepercayaan maka tidak dibenarkan. melaluiataubersamaini dasar surat Al-Mujadalah ayat 22.

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang diberiman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih akung dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau bawah umur atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah sudah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan proteksi yang hadir daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam nirwana yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”

Jika keduanya kafir harbi, maka dilarang berbakti dan bersilaturahmi kepada keduanya dengan dasar surat Al-Mumtahanah ayat 9.

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Sesungguhnya Allah spesialuntuk melarang engkau mengakibatkan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu lantaran agama. Dan mengusir engkau dari negerimu, dan memmenolong orang lain untuk mengusirmu. Dan barangsiapa mengakibatkan mereka sebagai kawan, maka mereka yakni orang-orang yang zhalim.

melaluiataubersamaini demikian kita dilarang berbuat baik kepada orang-orang kafir harbi atas dasar ayat tersebut. Bahkan seandainya bertemu di medan perang, diperbolehkan untuk dibunuh. Hal ini sudah pernah terjadi terhadap Abu Ubaidah Ibnul Jarrah dengan bapaknya pada waktu perang Badar. Bapaknya ikut di medan pertempuran dan berada di pihak kaum musyrikin kemudian Abu Ubaidah membunuhnya.

Timbul pertanyaan, “Bolehkah mendo’akan orang bau tanah yang masih kafir?” Jawabnya adalah, baik kafir harbi atau bukan kafir harbi tidak diperbolehkan mendoakannya untuk memintakan ampun dan kasih akung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika keduanya masih hidup maupun sudah meninggal. Dasarnya yakni surat At-Taubah ayat 113, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

” Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang diberiman memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabatnya, sehabis terang bagi mereka sebenarnya orang-orang musyrik itu yakni penghuni neraka jahannam”

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya mengampuni dosa ibunya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengabulkannya lantaran ibunya mati dalam keadaan kafir [1] Kedua orang bau tanah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mati dalam keadaan kafir [2] Kalau ada yang bertanya, “Bukankah pada dikala itu belum diutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Saat itu sudah ada millah Ibrahim. Sedangkan kedua orang bau tanah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak masuk dalam millah Ibrahim sehingga keduanya masih dalam keadaan kafir [3]

Nabi Ibrahim juga pernah memintakan ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kedua orang tuanya yang masih kafir, lantaran pada waktu itu Ibrahim belum tahu dan belum turun wahyu wacana adanya larangan tersebut. Sesudah turun wahyu, Ibrahim kemudian menahan diri. Kisah ini bisa dilihat dalam surat At-Taubah ayat 114.

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

“Dan undangan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk bapaknya tidak lain spesialuntuklah lantaran kesepakatan yang sudah diikrarkannya kepada bapaknya itu maka tatkala terang bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu yakni musuh Allah maka Ibrahim berlepas diri daripadanya, sesungguhnya Ibrahim yakni seorang yang sangat lembut hatinya dan lagi menyantun”

Jika orang bau tanah masih kafir tetapi bukan kafir harbi, maka diperbolehkan mendo’akan supaya mereka didiberikan hidayah. Dikatakan oleh Imam Al-Qurtubi, ayat yang ke-8 tadi ialah dalil wacana tetapnya menyambung tali silaturrahmi kepada orang bau tanah yang masih kafir serta mendo’akan keduanya supaya mendapatkan hidayah dan kembali ke jalan yang haq.

Walaupun dilarang memintakan ampunan dan rahmat kepada orang bau tanah yang masih kafir tetapi masih diperbolehkan memintakan hidayah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendakwahkannya jikalau bukan kafir harbi. Makara dakwah kepada orang bau tanah yang masih kafir harus tetap dilakukan dan dengan cara yang baik. Dapat kita lihat bagaimana dakwahnya Ibarahim ‘Alaihi Shalatu wa sallam kepada orang tuanya. Beliau mendakwahkan dengan kata-kata yang lemah lembut. Dakwah kepada orang bau tanah yang masih kafir saja harus dilakukan dengan kata-kata yang lemah lembut, terlebih lagi jikalau orang tuanya tidak kafir tetapi masih suka melaksanakan bid’ah, harus didakwahkan dengan kata-kata lebih lemah lembut lagi.

Sikap Nabi Ibrahim terhadap bapaknya yang kafir sanggup dilihat dalam surat Maryam ayat 41-48.

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا

“Ceritakanlah wahai Muhammad kisah Ibrahim di dalam kitab Al-Qur’an, sesungguhnya dia seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi”

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak sanggup mendengar, tidak melihat dan tidak sanggup menolongmu sedikitpun juga”

يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا

“Wahai bapakku sesungguhnya sudah hadir kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak hadir kepadamu. Maka ikutilah saya pasti saya akan menunjukkan engkau ke jalan yang lurus”

يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا

“Wahai bapakku, tidakbolehlah engkau menyembah syaithan sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah”

يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا

“Wahai bapakku, sesungguhnya saya khawatir engkau akan ditimpa adzab dari Allah Yang Maha Pemurah maka engkau menjadi mitra bagi syaitan”

قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ ۖ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا

Berkata bapaknya, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku hai Ibrahim jikalau engkau tidak berhenti pasti akan saya rajam dan tinggalkanlah saya buat waktu yang lama”

قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ ۖ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي ۖ إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا

Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu saya akan meminta ampun bagimu kepada Allah sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”

وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَىٰ أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا

“Dan saya akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau seru selain Allah dan saya akan berdo’a kepada Rabb-ku gampang-gampangan saya tidak kecewa dengan berdo’a kepada Rabb-ku



Sumber: https://almanhaj.or.id/1327-sikap-anak-kepada-orang-tua-yang-masih-kafir.html




cepatdangampang-gampangan Allah Ta'ala menjaga kita dan kedua orang bau tanah kita dari segala malapetaka dunia dan alam abadi serta mengakibatkan kita termasuk orang yang berbakti kepada kedua orang bau tanah dan yang mempersembahkan haknya di masa hidupnya dan juga sehabis meninggalnya. Amiin ya Rabbal ‘alamiin.


Janganlah engkau enggan untuk berdoa demi kebaikan orang tuamu. Sekeras apapun usaha yang engkau lakukan, bila Allah tidak berkehendak, pasti tidak akan pernah terwujud. Hanya Allahlah yang bisa Memdiberi petunjuk dan membukakan pintu hati kedua orang tuamu. Mintalah pada-Nya, lantaran tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Memohonlah terus pada-Nya dan tidakboleh pernah bosan meski kita tidak tahu kapankah doa kita akan dikabulkan. Pun seandainya Allah tidak berkehendak untuk memdiberi mereka petunjuk hingga janjkematian menjemput mereka, ingatlah bahwa Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya. Janganlah berhenti berdoa, lantaran tentu engkau sudah tahu bahwa doa seorang anak shalih untuk orang tuanya tidaklah terputus amalannya meski kedua orang tuanya sudah meninggal.





Jika dirimu kumandangkan takbir dikala Idul Fitri ... 
lalu hatimu tiba-tiba bergetar & bersedih ingat akan Ayah atau Ibumu kemudian dirimu meneteskan airmata.. 
Berbahagialah bahwa hatimu masih "hidup"..





references by 
buyayahya, muslimahid, RENUNGANISLAM
Ust. Abdurrahman Hadi,Lc  حفظه الله di Masjid Darul Hijrah STAI ALI BIN ABI THALIB SURABAYA dalam Daurah Hak-Hak dalam Islam pada hari Selasa tanggal1 Muharram 1435 H/5 November 2013.
Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Darul Qolam
almanhaj.or.id/
Tag : islam
0 Komentar untuk "Nasehat Untuk Anak Terhadap Orangtua"

Back To Top