loading...
Ada sebuah kisah mengharukan tentang keteladanan keluarga Rasulullah SAW, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kisah ini bisa menjadi pelajaran penting, terlebih umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Fitri.
photo by djournalist
Hal ini berbanding terbalik dengan sebagian Umat Islam ketika ini yang kurang mengerti kerterkaitan antara Ramdhan & Idul Fitri, yang entah bermula darimana menyebabkan final Ramadhan disibukan dengan hal duniawi & Idul Fitri sebagai ajang pamer baju, harta, istri, anak, dan status sosial.
Keteladanan Ali bin Abi Thalib ini disaksikan dua karibnya; Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali. Keduanya pernah ikut perang Jamal bersama dia dan termasuk pembesar kelompok pendukung Ali hingga final hayatnya.
Kisah ini juga termaktub pada dua Kitab Sirrah Ashabu an-Nabi, karya Syekh Mahmud al-Misri dan Syiar A’lam An-Nubala’, karya Imam Adz-Dzahabi. Dikisahkan, usai salat Asar, setelah seharian merasa sedih, lantaran bulan Ramadhan akan segera berakhir, Ali kemudian pulang dari masjid.
Sesampainya di rumah, ia disambut sang istri tercinta Fathimah Az-Zahra dengan pertanyaan penuh perhatian. "Kenapa engkau terlihat pucat, kekasihku,” demikianlah sapa Sayyidah Fatimah. "Tak ada gejala keceriaan sedikitpun di wajahmu, padahal sebentar lagi kita akan menyambut hari kemenangan?”
Ali spesialuntuk melongo lesu, tak berapa usang kemudian ia minta pertimbangan sang istri untuk mensedekahkan tiruana simpanan pangannya kepada fakir miskin. "Hampir sebulan kita menerima pendidikan dari Ramadhan, bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi Allah, yang sering memdiberi hari-hari kita dengan perut sering terisi."
Sore itu juga, beberapa jam sebelum takbir berkumandang, Ali ibn Abi Thalib terlihat sibuk mendorong pedatinya, yang terdiri dari tiga karung gandum dan dua karung kurma hasil dari pguan kebunnya.
Seorang Muslim harus menjaga kehormatan/harga diri saudaranya dengan tak mengumpulkan orang yang tak bisa disatutitik apalagi berdesak-desakan/antri, namun Orang yang membagikan sedekahlah yang harus menhadiri orangnya atau rumahnya.
Ia berkeliling dari pojok kota dan perkempungan untuk membagi-bagikan gandum dan kurma itu kepada fakir miskin dan yatim/piatu.
Seorang Muslim harus menjaga kehormatan/harga diri saudaranya dengan tak mengumpulkan orang yang tak bisa disatutitik apalagi berdesak-desakan/antri, namun Orang yang membagikan sedekahlah yang harus menhadiri orangnya atau rumahnya.
Ia berkeliling dari pojok kota dan perkempungan untuk membagi-bagikan gandum dan kurma itu kepada fakir miskin dan yatim/piatu.
Sementara istrinya, Sayyidah Fathimah az-Zahra, sambil menuntun dua putranya Hasan dan Husein (cucu Nabi), nampak di tangannya memegang kantong plastik yang besar. Mereka sekeluarga, kompak menhadiri kaum fakir miskin untuk disantuni.
Begitu mereka berjalan hingga larut malam, tangannya membagikan santunan, bibirnya bertakbir kepada Allah.
Begitu mereka berjalan hingga larut malam, tangannya membagikan santunan, bibirnya bertakbir kepada Allah.
Esok harinya datang salat Idul Fitri, Sayyidina Ali naik mimbar dan berkutbah di Masjid Qiblatain, potongan isi khutbah itu di antaranya tentang beberapa gejala orang yang mendapatkan "taqwa" dari puasanya yang sebulan penuh, "Yaitu mereka yang peka hati nuraninya, sehingga menggerakkan tangannya untuk peduli kepada sesama, membuatkan rezeki, membuatkan kebahagiaan, membuatkan senyuman yang hangat, alasannya yaitu kita tiruana sudah merasakan, bahwa lapar dan dahaga itu sesuatu yang berat"
Begitulah Sayyidina Ali, dia tak akan pernah mengucapkan, sebelum ia sendiri sudah melaksanakan dan memdiberi keteladanan. Sesudah Salat 'Id selesai dan hari masih sangat pagi, teman bersahabat beliau, Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali berkunjung dan bermaksud mengucapkan selamat ‘Idul Fitri kepada keluarga Rasulullah SAW tersebut.
Saat pintu terbuka, alangkah kagetnya mereka berdua, kedua hidung dua karib ini mencium aroma tak sedap, dari nampan yang meliputi gandum dan roti kering yang sudah bau dan disantapnya kuliner yang tak layak konsumsi itu dengan lahapnya. Seketika itu Ibnu Rafi’i dan dan Al Aswad Ad-Du’ali berucap istighfar, sambil berpelukan dan menangis, lantaran kedua dada teman bersahabat ini ada yang nyeri di sana.
Merasa tak berpengaruh melihat pemandangan itu, mereka kemudian berpamitan sebelum berpelukan. Mereka pun pergi menjauh dari pemandangan menggetarkan itu. Di sepanjang jalan mata Ibnu Rafi’i berlinang air mata, perlahan butiran itu menetes di pipinya dan jatuh ke tanah menyerupai mengukir sebuah jejak kesedihan hingga ke kediamannya.
Idul Fitri yang seharusnya penuh suka cita, tapi pagi itu mereka bersedih. Sementara Abu Al Aswad Ad Du’ali, terus bertakbir di sepanjang jalan, kecamuk dalam dadanya sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah SAW. Tiba di depan Rasulullah, ia pun mengadu, “Ya Rasulullah. Putra baginda, putri baginda dan cucu baginda,” ujar Ad Du’ali terbata-bata. “Tenangkan dirimu, ada apa wahai teman dekatku?” kata Rasulullah menenangkan.
“Segeralah ke rumah menantu dan putri baginda, Ya Rasulullah. Saya khawatir cucu baginda Hasan dan Husein akan sakit.” “Ada apa dengan cucuku dan keluargaku?” “Saya tak berpengaruh menceritakan itu sekarang, lebih baik menengoknya...”
Tak berpikir lama, Rasulullah pun segera menuju rumah putrinya. Tiba hingga di halaman rumah, tak ada apa-apa yang dikhawatirkan oleh Ad Du’ali. Justru tawa senang mengisi percakapan antara Sayyidina Ali, Sayyidatuna Fathimah dan kedua anaknya.
Bahkan, yang sedikit guah, mata Ad-Du’ali sendiri menyaksikan, ternyata keluarga itu masih menyimpan sedikit kurma yang layak dikonsumsi untuk menyambut tamu yang hadir. Mata Rasulullah pun sembab, dia terharu, alasannya yaitu ia sendiri melihat bekas-bekas kuliner bau yang sudah disantap keluarga itu dan wangi basinya masih menyengat. Tak terbendung juga butiran mutiara bening menghiasi wajah Rasulullah SAW nan membersihkan.
“Ya Allah, Allahumma Isyhad. Ya Allah saksikanlah, saksikanlah," demikian bibir Rasulullah berbisik lembut.
Sayyidatuna Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, ayahnya sedang bangun tegak. Gandum bau yang dipegangnya terjatuh ke lantai. “Abah, kenapa engkau biarkan dirimu bangun di situ, tanpa memdiberi tahu kami, oh, relakah abah menyebabkan kami anak yang tak berbakti?" Berondong Fathimah spontan, kemudian mencium tangan Abahnya dan abahnya ke ruang tamu.
"Kenapa Abah menangis? Kenapa pula teman bersahabat ad-Duali mengikuti di belakang Abah,” Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri keakungannya sambil berujar, “Semoga kelak nirwana tempatmu Nak. Surga untukmu.” Mereka yang ada di situ kemudian menjawaban bersama-sama, "Allahuma Aaamin".
Air mata Rasulullah tiba-tiba mengucur deras, ketika melihat sendiri dengan matanya akan kesederhanaan dan kebersahajaan puteri dia bersama keluarganya.
Di hari Idul Fitri, di ketika tiruana orang berkumpul, berbahagia dengan hidangan guaka macam kuliner/masakan, keluarga Rasulullah cukup tersenyum senang dengan gandum dan sepotong roti bau yang baunya tercium tak sedap. Demikianlah kesaksikan ad-Duali dan Ibnu Rafi’i atas keluarga Rasulullah SAW pada hari ‘Idul Fitri.
Ibnu Rafi’i berkata, “Itulah salah satu dampak pendidikan Ramadhan bagi keluarga Nabi, dan saya diperintahkan oleh Rasulullah SAW supaya tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap ‘Idul Fitri. Aku pun simpan kisah itu dalam hatiku. Namun, setelah Rasulullah wafat, saya takut dituduh menyembunyikan hadis, maka terpaksa saya ceritakan supaya jadi pelajaran bagi segenap kaum Muslimin untuk benar-benar bisa mengambil pesan yang tersirat dari madrasah Ramadhan.”
(Musnad Imam Ahmad, jilid 2)
Para ulama sudah mengambarkan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya:
1. Mandi pada hari raya.
Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.”
2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.
Disunahkan bagi laki-laki untuk memmembersihkankan diri dan menggunakan pakaian terbaik yang dimilikinya, menggunakan minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi perempuan tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang glamor dan menggunakan minyak wangi.
3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.
“Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa pesan yang tersirat makan sebelum sholat yaitu supaya tidakboleh ada yang menduga bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.
4. Mengambil jalan yang tidak sama ketika berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, dia mengambil jalan yang tidak sama ketika pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya yaitu supaya orang-orang yang lewat di jalan itu bisa mempersembahkan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan menunjukkan syi’ar islam.
5. Bertakbir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, kemudian dia bertakbir hingga datang daerah pelaksanaan sholat, bahkan hingga sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan bunyi lantang selama perjalanan menuju ke daerah pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan bunyi keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir ketika Idul Fitri berdasarkan pendapat yang paling berpengaruh yaitu setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.
6. Sholat ‘Ied.
Hukum sholat ‘ied yaitu fardhu ‘ain, bagi setiap orang, lantaran Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, bila ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib spesialuntuk bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh insan untuk menghadirinya hingga para perempuan yang haidh pun disuruh untuk hadir ke daerah sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati daerah sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh perempuan yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa menhadiri daerah sholat tersebut, hal ini mengatakan bahwa aturan sholat ‘Ied yaitu fardhu ‘ain.
Waktu Sholat ‘Ied yaitu setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, supaya kaum muslimin memperoleh peluang untuk menunaikan zakat fitrah.
Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid.
Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan setelah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan sesudahnya (HR. Bukhari: 9890)
Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di daerah yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk laki-laki dan satu untuk wanita, ketika dia menduga perempuan tidak mendengar khutbahnya.
7. Ucapan selamat Hari Raya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan dia menjawaban: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya bila bertemu setelah sholat ‘ied yaitu:
Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah mendapatkan amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (cepatdangampang-gampangan Allah memdiberi jawaban kebaikan kepadamu) dan semisalnya.”
Telah diriwayatkan dari sejumlah teman bersahabat Nabi bahwa mereka biasa melaksanakan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun bila seseorang itu memulai maka saya akan menjawabannya.” Yang demikian itu lantaran menjawaban salam yaitu sesuatu yang wajib dan mempersembahkan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan hari raya ini diucapkan spesialuntuk pada tanggal 1 Sypertama.
8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya.
Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita sudah melaksanakan kemungkaran-kemungkaran diantaranya:
- Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki).
- Berjabat tangan dengan perempuan yang bukan mahram.
- Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta banyak sekali kemungkaran lainnya.
- Masuk rumah menemui perempuan yang bukan mahrom.
- Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan perempuan keluar ke pasar dan tempat-tempat lain.
- Mengkhususkan ziarah kubur spesialuntuk pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melaksanakan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta menyesali orang-orang yang sudah meninggal dunia.
- Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaa dan tidak mengandung mashlahat dan faedah.
- Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang spesialuntuk mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini yaitu peristiwa yang besar.
- Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/tiruan sehingga tidak sanggup dijadikan dalil).
references by sindonews, muslimah.or.id
Tag :
islam
0 Komentar untuk "Bagaimana Contoh Nabi & Keluarga Di Hari Idul Fitri?"