Asal Seruan Tradisi Menyalakan Lilin

loading...
Tradisi menyalakan lilin berasal dari ritual Perayaan Hanukkah (Festival Cahaya) orang Yahudi yang jatuh pada tanggal 19 Desember (25 Kislev penanggalan Ibrani) setiap tahunnya, pada Zaman Yesus (Nabi Isa AS binti Maryam dalam agama Islam)

Hanukkah sendiri disebut Hari Pentahbisan Bait Allah dimana selama 8 hari orang Yahudi menyalakan lilin / pelita untuk memperingati keberhasilan merebut Bait Allah dari raja Antiokhus dari Siria dan mentahbiskannya kembali pada Tahun 165 M, menarikdanuniknya, pada Hari Perayaan Hanukkah Yesus menyebut Diri-Nya Terang Dunia yang mensejajarkan dengan makna pelita yang dinyalakan untuk penerang selama perayaan Hanukkah. 300 tahun kemudian Gereja sendiri menetapkan Kelahiran Yesus di bulan Desember pada tanggal 25 yang berbarengan dengan perayaan Hanukkah Yahudi  dimana ada pameran cahaya / penyalaan lilin selama 8 hari.
Di dalam lampu Cult of Isis dinyalakan disiang hari. Di kuil biasa ada candelabra, mis. Bahwa di kuil Apollo Palatinus di Roma, aslinya diambil oleh Alexander dari Thebes, yang berupa pohon dari dahan-dahan lampu yang digantung mirip buah. Lampu di kuil pagan tidak simbolis, tapi ialah persembahan nazar kepada para dewa. Obor dan lampu juga dibawa dalam prosesi keagamaan.


Lamps for the dead

The pagan custom of burying lamps with the dead was to provide the dead with the means of obtaining light in the next world; the lamps were for the most part unlighted. It was of Asiatic origin, traces of it having been observed in Phoenicia and in the Punic colonies, but not in Egypt or Greece. In Europe it was confined to the countries under the domination of Rome.



 Easter

On Easter Eve new fire is made with a flint and steel, and blessed; from this three candles are lighted, the lumen Christi, and from these again the Paschal Candle. This is the symbol of the risen and victorious Christ, and burns at every solemn service until Ascension Day, when it is extinguished and removed after the reading of the Gospel at High Mass. This, of course, symbolizes the Ascension; but meanwhile the other lamps in the church have received their light from the Paschal Candle, and so symbolize throughout the year the continued presence of the light of Christ.


Baptism

At the consecration of the baptismal water the burning Paschal Candle is dipped into the font so that the power of the Holy Ghost may descend into it and make it an effective instrument of regeneration. This is the symbol of baptism as rebirth as children of Light. Lighted tapers are also placed in the hands of the newly baptized, or of their god-parents, with the admonition to preserve their baptism inviolate, so that they may go to meet the Lord when he comes to the wedding. Thus, too, as children of Light, candidates for ordination and novices about to take the vows carry lights. when they come before the bishop; and the same idea 17, CEo. underlies the custom of carrying lights at weddings, at the first communion, and by priests going to their first mass, though none of these are liturgically prescribed. Finally, lights are placed round the bodies of the dead and carried beside them to the grave, partly as symbols that they still live in the light of Christ, partly to frighten away the powers of darkness.



API BANGSA MAJUSI

Sebelum Zoroastrianisme muncul, di Iran sudah berkembang kepercayaan terhadap tuhan Mithra, Yema, dan Asya. Kepercayaan ini bertahan sampai munculnya pedoman Zoroaster, dan secara umum masih terpengaruh dan diwarnai oleh dinamisme yang senantiasa mengultuskan unsur-unsur alam mirip api dan bintang-bintang. Selain itu, di dalamnya juga diajarkan penyembahan terbanyak banyak tuhan.
Api dalam Kuil Majusi di Iran

Adapun pedoman Zoroaster intinya ialah pedoman yang memerangi kepercayaan dan penyembahan terhadap tuhan Mithra, Yema, dan Asya serta doktrin-doktrin pemujaan terhadap berhala. Terbukti di antara doktrin-doktrinnya yang paling menonjol adalah:

  • Mengajak insan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan berhala-berhala serta golongan Shabi’iyyah (penyembahan tehadap bintang-bintang dan kekuatan alam lainnya).
  • Mengajak insan untuk menyucikan matahari dan api dalam kapasitas keduanya sebagai symbol Kekuatan Tunggal yang tidak pernah berhenti melimpahkan kasih akung, cahaya, kelembutan, dan kesucian, serta senantiasa menolong insan dari banyak sekali cara.
  • Mengajarkan kepada pengikutnya untuk memuliakan tanah, air, dan udara dalam kapasitas ketiganya sebagai sesuatu yang sangat vital bagi kehidupan manusia.


Sepeninggal Zoroaster, muncullah kelompok Majusi. Mereka ialah para penyembah api dan meyakini api sebagai tuhan atau media doa mediator Tuhan. Mereka selalu memuja-muja api di dalam syair keagamaan mereka tanpa ingat sedikit pun bahwa bergotong-royong api ialah symbol bagi kaum lemah (fakir miskin). Itu sebabnya mereka sering disebut sebagai penyembah atau pemuja api

Adapun ritual-ritual yang berlaku di masyarakat Persia sebelum munculnya Zoroastrianisme ialah ritual penyembahan terhadap berhala dan persembahan hewan kurban untuk tuhan-tuhan mereka, terutama tuhan Mithra, tuhan yang paling tinggi kedudukannya.

Ketika Alexander Agung dari Macedonia menyerang Persia, tepatnya pada final periode ke-4 SM, pedoman Zoroaster sudah tidak tampak. Ia gres muncul kembali lima periode kemudian, tepatnya pada dikala berdirinya dinasti Sassanid, lantaran imperium gres ini ingin kembali kepada Zoroastrianisme sebagai salah satu agama kuno yang pernah ada di Persia. Sayangnya, pedoman Zoroaster yang diterapkan oleh dinasti Sassanid sangat tidak sama dengan pedoman Zoroaster yang asli. Ajaran tersebut ternyata spesialuntuk digunakan sebagai alat untuk mewujudkan tujuan para penguasa dan kesewenang-wenangan para pendeta.

Pada periode ke-3 SM, di tengah-tengah masyarakat Majusi muncul lagi seorang pembawa pedoman gres berjulukan Mani, ajarannya populer dengan sebutan Manichaeisme (Manuwiyyah). Ajaran ini ialah sinkretisme pedoman Zoroastrianisme, Mani sudah menyimpang dan murtad dari pedoman Zoroaster yang bergotong-royong sehingga ia disebut sebagai seorang Zindiq (orang yang murtad).

Alasannya berdasarkan mereka ialah lantaran Manichaeisme selalu menonjolkan paham dualism dalam setiap pedoman dan doktrin. Sebagai contoh, Manichaeisme menyampaikan adanya dualism kekuatan dalam setiap wujud. Bahkan, berdasarkan pedoman Manichaeisme, alam semesta ini pun dikuasai oleh dua unsure: cahaya dan kepetangan. Cahaya ialah sumber kebaikan, sedangkan biro diam-diam ialah sumber kejahatan. Dikatakan bahwa keduanya sama-sama mempunyai kemampuan untuk mengetahui. Lalu, kata mereka, ketika kedua kekuatan ini bersatu, alam semesta ini pun tumbuh berkembang dengan banyak sekali fenomena, peristiwa, materi, dan makhluk hidupnya…

Manichaeisme juga menyampaikan bahwa siapa saja yang memmenolong memperpanjang masa penyatuan kedua unsure (cahaya dan kepetangan) tersebut ialah orang-orang yang tidak baik. Adapun salah satu perbuatan yang mengarah pada hal itu ialah ijab kabul dan berketurunan. Oleh lantaran itu, para penganut Manichaeisme mengajarkan kepada insan untuk menjalani kehidupan asketis (selibat), serta meninggalkan segala hal yang terkait dengan proses berketurunan. Semua ini tidak lain ialah dalam rangka mempercepat kebinasaan alam semesta ini dan memisahkan cahaya dari kepetangan.

Pada tahun 276 M, Mani (pendiri aliran Manichaeisme) dibunuh oleh penguasa Persia yang berjulukan Bahram, putra Hormizd I atau cucu Shapur I. wacana alasannya membunuh Mani, Bahram mengatakan, “lelaki ini hadir dan mengajak untuk menghancurkan alam semesta. Maka sudah sepatutnya bila kita membunuhnya terlebih lampau.”

Sekalipun mendapat tekanan sedemikian rupa, pedoman Manichaeisme tetap bisa eksin dan perlahan-lahan menjadi sebuah gerakan dakwah tersembunyi. Bahkan, pedoman ini masih ditemukan dan dianut oleh beberapa kalangan pada masa sehabis kehadiran Islam.

Pada penghujung periode ke-5 M, tepatnya pada tahun 578 M, muncul lagi sebuah pedoman gres yang disebarkan oleh Mazdak. Dalam ajarannya, Mazdak banyak mengikuti pedoman Mani dalam hal mendakwahkan hak kepemilikan bersama atas harta dan perempuan.

Mazdaisme sempat diterima oleh raja Iran dikala itu, Qubbadz. Namun, sehabis menerapkannya di tengah-tengah masyarakatnya pada sepuluh tahun pertama masa kepemimpinannya, Qubbadz bertahap menemukan ketidakbenaran dari pedoman tersebut. Singkat cerita, Qubbadz alhasil meninggalkan Mazdaisme dan membunuh Mazdak. Lalu pada tahun 529 M, Qubbadz berusaha menumpas seluruh pengikut Mazdak dengan melaksanakan penyerbuan dan penyisiran ke kantong-kantong massa mereka. Pada akhirnya, pedoman ini pun bermetamorfosis sebuah gerakan diam-diam dan bisa bertahan sampai era dinasti Sassanid. Tak usang kemudian, yaitu ketika Islam hadir, mereka gres berani muncul kembali secara terang-terangan.

Ajaran lain yang pernah tumbuh di Iran pra-Islam ialah pedoman Marquniyah. Nama ini dinisbatkan kepada pencetusnya yang berjulukan Marqiyun. Ajaran ini pun berangkat dari paham dualism. Singkatnya, mereka meyakini bahwa cahaya ialah penciptaan kebaikan, sedangkan biro diam-diam ialah pencipta keburukan. Ajaran ini juga diwarnai oleh unsur-unsur Zoroastrianisme dan Katolik yang pernah muncul sebelumnya.

Selain Marquniyah, di Persia pernah muncul pedoman lain yang disebut Disoniyah. Seperti beberapa pedoman sebelumnya, kepercayaan gres ini juga menganut paham dualism. Bahkan Disoniyah mempunyai persamaan dengan Marquniyah dalam pandangannya wacana adanya unsure ketiga selain cahaya dan kepetangan. Menurut pedoman ini, kiprah unsure ketiga ini ialah memisahkan unsure cahaya dan kepetangan, tetapi tidak dijelaskan bagaimana proses terwujudnya unsure ketiga ini. Ibnu Dison, nama pelopor pedoman ini, berdasarkan beberapa kalangan termasuk orang yang pertama kali melontarkan pemikiran wacana inkarnasi. Terbukti dalam salah satu ajarannya ia menyampaikan bahwa cahaya Allah sudah masuk dan menempati hatinya.


b.   Kondisi Politik dan Sosial

Persia diterpa dekadensi moral sewaktu penduduknya masih menganut kepercayaan-kepercayaan kuno yang sudah ada sebelum munculnya Zoroastrianisme. Dekadensi moral secara mencolok tampak di tengah-tengah masyarakat pedalaman yang senantiasa terlibat dalam pertikaian dan perang antargolongan. Bahkan kehidupan mereka dikala itu tak pernah sepi dari aksi-aksi perampasan, perampokan, dan pembunuhan.

Tak usang kemudian, muncul pedoman Majusi. Pada pertama kehadirannya, pedoman ini berupaya keras memberantas dekadensi moral dan krisis social Persia. Namun akung, belum sempat upaya itu terwujud, pada dikala bersamaan muncul ajaran-ajaran lain, mirip Manichaeisme dan Mazdaisme.

Di bawah naungan pedoman Majusi, Manichaeisme, Mazdaisme, dan kepercayaan-kepercayaan Iran kuno lainnya inilah masyarakat Iran semakin terpuruk dalam kehidupan yang penuh dengan fenomena degradasi moral, pertikaian, perpecahan, dan pertumpahan darah, baik dengan sesama mereka sendiri atau dengan bangsa-bangsa lain. Yang sering terjadi ialah kaum penyembah api menyerang para pengikut Al-Masih, merampas harta benda mereka, dan menahan sebagian mereka sebagai tawanan. Namun, bangsa Persia kadang-kadang juga mengalami abadiahan dan alhasil berhasil ditaklukkan oleh Romawi.

Perlu dicatat bahwa para pengikut Majusi dari bangsa Persia banyak yang tidak menyembah Tuhan yang sebenarnya. Selan itu, di dalam jiwa mereka pun tidak tertanam nilai-nilai moralitas yang luhur. Pada sisi lain, para Kaisar Romawi senantiasa menindas kelompok-kelompok agama atau kepercayaan yang akidahnya berseberangan dengan dogma mereka.

Salah satu fenomena social yang mencerminkan parahnya degradasi moral masyarakat Persia dikala itu ialah diperbolehkannya seorang lelaki mengawini mahramnya (keluarga) sendiri. Praktik mirip ini dibenarkan dan banyak dilakukan oleh para penganut Zoroastrianisme. Mereka berpendapat, “Seorang anak lelaki diperbolehkan memuaskan nafsu ibunya. Dan apabila suami meninggal, yang lebih berhak untuk mendapat istrinya ialah anaknya.”

Oleh lantaran itu, tidak mengherankan bila kita melihat dari catatan sejarah bahwa salah satu raja mereka, yaitu Yazdigird II alhasil berkeluargai putrinya sendiri dan kemudian membunuhnya. Tercatat pula, Bahram Gobin sudah berkeluargai saudara perempuannya sendiri.

Sementara itu, Mazdaisme mendapat banyak pertolongan dari kalangan muda, orang-orang kaya, kaum bangsawan, dan masyarakat umum lantaran ajaran-ajarannya bisa menjadi alat untuk memuaskan hawa nafsu kelompok-kelompok ini. Bahkan, pedoman ini juga didukung dan dianut oleh penguasa setempat selama beberapa masa, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya. Faktor inilah yang mempergampang dan mempercepat perkembangan pedoman itu di tengah-tengah masyarakat Majusi di Persia. Akibatnya, Persia pun kian karam dalam banyak sekali bentuk degradasi dan kerusakan moral yang diakibatkan oleh pedoman tersebut.

Sementara itu, di kalangan orang kebanyakan pun terdapat tingkatan social yang tidak sama-beda, dan masing-masing mempunyai kedudukan tersendiri di tengah-tengah masyarakat.

Dalam soal fanatisme, bangsa Persia mempunyai fanatisme yang tinggi terhadap ke-Persia-an mereka. Menurut mereka, Persia ialah bangsa paling terhormat dari sekian banyak suku bangsa. Selain itu, Allah juga sudah member mereka banyak sekali kelebihan, bakat, dan kemampuan khusus yang tidak dimiliki bangsa mana pun. Fanatisme inilah yang kemudian membuat mereka selalu memandang rendah bangsa lain. Tak jarang mereka melontarkan julukan-julukan khusus yang berbau celaan atau hinaan terhadap umat yang lain.

Perlu digarisbawahi bahwa api tidak pernah menurunkan wahyu apapun kepada para penyembahnya. Api juga tidak pernah mengutus seorang rasul atau nabi untuk memberikan tuntunan dan petunjuk kepada manusia. Lebih dari itu, api tidak pernah bisa menuntun setiap gerak langkah hidup insan dan juga tidak pernah bisa menjatuhkan eksekusi terhadap orang-orang yang melaksanakan dosa dan kejahatan.

Akibatnya, masyarakat Majusi menempatkan agama tak lebih dari sekedar ritual yang selesai begitu saja ketika sudah dilaksanakan di tempat-tempat tertentu dan pada waktu-waktu tertentu. Adapun di luar ruang peribadatan, dalam kehidupan sehari-hari mereka, di tempat-tempat bekerja, di jalanan, dalam kehidupan politik, ekonomi, social, dan lain-lain, mereka merasa bisa berlaku bebas. Mereka sanggup melangkah sesuai dengan kehendak hawa nafsu mereka, sama mirip yang dilakukan oleh orang-prang musyrik sepanjang sejarah.

A Zoroastrian Fire Temple in Yazd holds a traditional fire which has been kept alight by Zoroastrian priests, continuously for over 1100 years.


Itulah kehidupan bangsa Persia di bawah pedoman Majusi. Mereka sama sekali tidak mencicipi dan mendapat pedoman agama sebagai sumber tuntunan, petunjuk, dan pendidikan untuk melaksanakan kebaikan dan kebajikan dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, selain tidak bisa menjadi system tatanan aturan yang ikut mengatur kehidupan setiap individu, masyarakat, dan Negara mereka, agama Majusi tidak bisa berhasil menjadi benteng bagi insan dari kesewenang-wenangan para penguasa. Semua hal inilah yang kemudian mereka dapatkan dari Islam.

Adapun dalam kehidupan politik, selama berada di bawah baying-bayang pedoman Majusi ini, bangsa Persia nyaris tidak pernah mendapat pemerintahan yang berhasil memberantas banyak sekali kebobrokan social. Yang terjadi, para raja dan pejabatnya sendirilah yang justu memelopori kebobrokan tersebut. Pasalnya, sebelum umat insan menyembah Tuhan yang sebenarnya, mereka sudah menganggap diri mereka masing-masing sebagai tuhan. Mereka senantiasa berlomba-lomba untuk mendapat bangku kekuasaan. Terbukti, enam orang raja di antara mereka menduduki tahta dalam tempo beberapa bulan saja. Ironisnya, kudeta ini spesialuntuk dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan duniawi para raja tersebut: menumpuk kekayaan pribadi dan bermegah-megahan dengan kenikmatan dunia.

melaluiataubersamaini demikian, tidak mengherankan bila mitos Persia penuh dengan kisah-kisah wacana para penguasa dan raja-raja Persia yang kaya raya dan senantiasa bergelimang kemewahan dan gemerlap dunia. Tentu anda pernah mendengar dongeng wacana Yazdigird, raja terakhir Persia. Syahdan, ketika mengungsi dari serangan pasukan Islam, ia membawa serta seribu juru masak, seribu penyanyi, seribu petugas kemembersihkanan, seribu penjaga pakaian, dan masih banyak lagi miliknya. Namun demikian, ia masih merasa dirinya sebagai pengungsi yang malang dan menyedihkan. Disebutkan bahwa di bawah pemerintahannya, bangsa Persia sangat sengsara dan menderita lantaran tingginya pajak dan upeti yang dipungut oleh kerajaan.


Asal Usul Adegan Meniup Lilin Ketika Perayaan Ulang Tahun

Islam tak mengenal perayaan ulang tahun, namun sebagian yang mengaku Muslim malah merayakannya, entah sudah dibiasakan /diajari orang tuanya semenjak kecil atau efek lingkungan kawan-kawannya atau juga lantaran tak mau mempelajari lebih dalam Al-Quran dan mengkaji di banyak sekali Majelis Ilmu

Lilin yang ada pada kuliner ringan cantik ulang tahun ialah sebuah tradisi yang sudah berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Beberapa pihak mengklaim bahwa tradisi tersebut ada semenjak zaman Yunani kuno. Bernyanyi-nyanyi lampau, lalu meniup lilin, Sampai kini orang mengikutinya sebagai ritual yang wajib.

Menurut lansiran Boldsky, menyalakan lilin dalam sejarahnya ialah cara khusus di mana orang membayar upeti kepada dewi bulan Yunani, Artemis.

Dalam ritual tersebut pertamanya kuliner ringan cantik yang digunakan haruslah berbentuk bundar untuk melambangkan bulan. Sementara lilin yang dimenambahkan di penggalan atasnya ialah komplemen untuk menggambarkan sinar atau cahaya bulan.

Dulu, orang Yunani kuno menyampaikan bahwa ketika berulang tahun dan menyalakan lilin kemudian meniupnya ialah untuk alasan keagamaan. Mereka mengibaratkan lilin juga sebagai 'cahaya kehidupan'. Zaman doloe, orang yang berulang tahun harus berdoa terlebih doloe sebelum meniup lilin. Diharapkan doa tersebut ialah doa yang paling diinginkan. Kemudian sehabis lilin ditiup, asap yang mengambang diudara dipercaya akan mengantarkan doa-doa orang yang berulang tahun ke Dewi Bulan Yunani, Artemis.

Bahkan program tiup lilin doloe tidak spesialuntuk dilakukan dikala ulang tahun saja, namun dikala orang-orang zaman doloe mempunyai cita-cita yang ingin dikabulkan. Itulah sejarah mengapa di dikala ulang tahun ada ritual meniup lilin. 


Iman itu ada 70 atau 60-an cabang. Yang paling tinggi ialah perkataan ‘la ilaha illallah’, yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat aib (juga) ialah penggalan dari iman.— HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35.

Perkataan ‘Syahadat’ memberikan bahwa iman harus selaras dengan ucapan di ekspresi dan perbuatan. Menyingkirkan duri dari jalan memberikan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat aib memberikan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam hati, lantaran sifat aib itu di hati lantaran perbuatan dosa disaksikan Allah SWT. INI dalil yang memberikan bahwa iman yang benar spesialuntuklah kalau terdapat tiga komponen di dalamnya yaitu 
(1) keyakinan dalam hati, 
(2) ucapan di lisan, dan 
(3) amalan dengan anggota badan. 


Maka tanpa adanya amalan, meskipun ada keyakinan dan ucapan, tidaklah disebut diberiman. Kaprikornus bersyahadat dan mengaku beragama Islam tidak cukup kalau etika atau perilakumu tidak lebih baik dari orang yg tidak beragama Islam. namun masih mengikuti dan menyerupai ibadah agama selain Islam yg secara tidak sadar kita sudah melaksanakan hal-hal syirik yg dihentikan Al-Quran dengan bahaya vonis neraka



LARANGAN AL-QURAN BAGI UMATNYA UNTUK MENIRU, MENGIKUTI,MENYERUPAI SEGALA TRADISI IBADAH AGAMA LAIN

Sikap meniru-niru atau mencontoh atau menyerupai kepada kalangan agama lain oleh orang-orang islam , jauh-jauh hari sudah disinyalir oleh Rasullulah shalalahu alaihi wasallam yang tergambar dalam hadits dia yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id bin Al-Khudri :
Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam bersabda :

صحيح البخاري ٣١٩٧: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Shahih Bukhari 3197: dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam besabda: "Kalian niscaya akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai seandainya mereka mguampuh (masuk) ke dalam lobang biawak kalian niscaya akan mengikutinya". Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nashrani?". Beliau menjawaban: "Siapa lagi (kalau bukan mereka) ".

Sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
صحيح البخاري ٦٧٧٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ

Shahih Bukhari 6774: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hari final zaman tidak akan terjadi sampai umatku menggandakan generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, mirip Persi dan Romawi?" Nabi menjawaban: "Manusia mana lagi selain mereka itu?"
Tatkala seseorang mendeklarasikan diri sebagai seorang Muslim, wajib baginya masuk Islam secara totalitas. Islam harus diterima secara utuh. Tidak boleh ada penggalan yang tinggalkan, diabai-kan, bahkan ditolak. sepertiyang halnya tidak boleh memasukkan pandangan gres atau pedoman lain ke dalam Islam. Ketentuan tersebut termaktub dalam ayat di atas. Dalam ayat tersebut, kaum Muk-min diperintahkan masuk ke dalam Islam secara kâffah sekaligus tidak mengikuti langkah-langkah syetan.


   
Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû [u]d-khulû fî al-silm kâffah (hai orang-orang yang diberiman, masuklah engkau ke dalam Islam secara keseluruhannya). Khithâb atau undangan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam al-silmi secara kâffah.

Ibnu Jarir al-Thabari mengutip pendapat banyak mufassir terkemuka, mirip Ibnu 'Abbas, Mujahid, Qatadah, al-Sudi, Ibnu Zaid, dan al-Dhahhak yang memaknai al-silm dengan al-Islâm. Pendapat ini juga dikuatkan oleh al-Thabari dan al-Samarqandi. melaluiataubersamaini demikian, ayat ini sanggup dimaknai sebagai perintah supaya memasuki Islam secara kâffah.

sepertiyang dikutip al-Thabari, ada yang memaknai kata al-silm di sini dengan al-musâlamah, yakni perdamaian, perundingan, meninggalkan perang, dan mempersembahkan jizyah. Itu artinya, kaum Muslim diperintahkan mengadakan perdamaian secara total. 

Pengertian tersebut makin terang kalau dikaitkan dengan sabab al-nuzûl (sebab turunnya) ayat ini. Dikemukakan oleh 'Ikrimah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Mus-lim yang sebelumnya beragama Yahudi, mirip Abdullah bin Salam, Tsa'labah, Asad bin 'Ubaid, dll, yang meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk merayakan hari Sabtu dan mengamalkan Taurat di malam hari. 

Kemudian turunlah ayat ini yang memerintahkan mereka untuk mengamalkan syiar-syiar Islam dan meninggalkan selainnya. Namun Ibnu Katsir mempersembahkan catatan, penyebutan Abdullah bin Salam perlu dicermati mengingat kesempurnaan imannya sehingga amat jauh kalau dia menginginkan hal itu.

Sesudah mereka diperintahkan masuk Islam secara keseluruhan, kemudian Allah SWT berfirman: walâ tattabi'û khuthuwât al-syaythân (dan tidakbolehlah engkau turut langkah-langkah syaitan). Syetan ialah makhluk Allah SWT yang durhaka. Oleh lantaran itu, tiruana langkahnya mengundang marah Allah SWT. Jika Allah SWT memerintahkan insan kepada kebaikan, syetan justru menyuruh berbuat dan keji (lihat al-Baqarah [2]: 169). Jika Allah SWT memerintahkan insan mengucap-kan perkataan yang lebih baik, syetan justru menjadikan perselisihan di antara insan (lihat QS al-Isra' [17]: 53). Minum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah juga disebut sebagai perbuatan syetan. De-ngan khamr dan judi itu pula syetan menjadikan permusuhan dan kebencian di antara insan (lihat QS al-Maidah [5]: 90-91). Agar tujuannya berhasil, syetan menghiasi perbuatan jelek sehingga terlihat baik oleh pelakunya (lihat QS al-Taubah [9]: 37, al-Ra'd [13]: 33). Pendek kata, tiruana perbuatan tercela yang dibenci dan dimurkai Allah terkumpul pada diri syetan.

Dalam ayat ini, insan dingatkan supaya tidak mengikuti langkah-langkah syetan. Al-Syaukani mengatakan, frasa ini berarti: “Janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan oleh syetan.” Sedangkan al-Samar-qandi, menafsirkan mengikuti langkah syetan berarti taat kepada syetan.      

Kemudian Allah SWT mempersembahkan alasan larangan tersebut dengan firman-Nya: Innahu la-kum 'aduww mubîn (sesung-guhnya syaitan itu musuh yang kasatmata bagimu). Sebagai musuh, syetan tidak suka melihat insan bahagia. Sebaliknya, dia sangat senang kalau insan sengsara dan menderita. Syetan tahu benar, kesengsaraan dan penderitaan tiada tara ialah masuk neraka. Oleh lantaran itu, syetan melaksanakan banyak sekali cara dan upaya untuk menyesatkan insan dari jalan yang benar dan menjerumuskannya ke neraka. Allah SWT berfirman:  Sesungguhnya syaitan itu spesialuntuk menyuruh engkau berbuat jahat dan keji, dan menyampaikan terhadap Allah apa yang tidak engkau ketahui (TQS al-Baqarah [2]: 169).

Oleh lantaran menjadi musuh apalagi musuh yang benar-benar nyata, maka syetan harus diperlakukan sebagaimana layaknya musuh, bukan sebagai kawan, teman dekat, pemimpin, atau pelindung. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya syaitan itu ialah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), lantaran sesungguhnya syaitan-syaitan itu spesialuntuk mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (TQS Fathir [35]: 6). Agar memperoleh kebahagiaan hakiki, insan tidak mengikuti jalan syetan. Islam ialah satu-satunya jalan yang boleh diikuti.

Telah maklum, bahwa syariah Islam mencakup beberapa aspek seluruh aspek kehidupan. Tak spesialuntuk mengatur urusan individu, mirip ibadah, makanan, pakaian, atau akhlak. Namun juga mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mirip sistem ekonomi, pemerintahan, pendidikan, sanksi, politik luar negeri, dan lain-lain. 


Kaffah secara bahasa artinya keseluruhan. Makna secara bahasa tersebut bisa mempersembahkan citra kepada kita terkena makna dari Muslim yang Kaffah, yakni menjadi muslim yang tidak “setengah-setengah”, atau menjadi muslim yang “sungguhan,” bukan “muslim-musliman/Islam Lahir/Islam KTP” yang tak mau mentaati Al-Quran atau memilah-milah mana aturan Al-Quran yg cocok, kalau tidak cocok dengan nafsu maka tidak ditaati.

Muslim yang sungguhan (baca: kaffah) ialah Muslim yang mengamalkan ajaran-ajaran Islam di setiap aspek kehidupan, bukan spesialuntuk di Masjid tapi pada aspek Ekonomi, Politik, Bertetangga, Makan, Pendidikan, Bersuci, dan Adab-Adab lainnya. Kaprikornus kalau seseorang menyampaikan pada seorang Muslim tidakboleh bawa-bawa agama atau tidakboleh mencapuradukan dengan agama maka ia sudah berbuat keliru, lantaran tiruana aspek & hal sudah diatur terang dalam Al-Quran

Seorang Muslim belum bisa disebut Muslim yang kaffah kalau ia belum menjalankan pedoman Islam di segala aspek kehidupannya. melaluiataubersamaini demikian, Muslim yang kaffah tidak berhenti pada ucapan kalimat syahadat saja. Muslim yang kaffah tidak berhenti pada ritual-ritual keagamaan saja, tetapi sudah menjajaki substansi dari ritual-ritual tersebut.

Tag : info, islam
0 Komentar untuk "Asal Seruan Tradisi Menyalakan Lilin"

Back To Top